Pages

Kamis, 16 Juni 2011

STRATEGI PEMBELAJARAN BAGI ANAK INKLUSI



STRATEGI PEMBELAJARAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


STRATEGI PEMBELAJARAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


A. PENDAHULUAN
  1. 1. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami problema dalam belajar, hanya saja problema tersebut ada yang ringan dan tidak memerlukan perhatian khusus dari orang lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan dan ada juga yang problem belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatka perhatian dan bantuan dari orang lain. Anak luar biasa atau disebut sebagai anak berkebutuhan khusus (children with special needs), memang tidak selalu mengalami problem dalam belajar. Namun, ketika mereka diinteraksikan bersama-sama dengan anak- anak sebaya lainnya dalam system pendidikan regular, ada hal-hal tertentu yang harus mendapatkan perhatian khusus dari guru dan sekolah untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal.
Pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus (student with special needs) membutuhkan suatu strategi tersendiri sesuai dengan kebutuhan masing – masing . Dalam penyusunan progam pembelajaran untuk setiap bidang studi hendaknya guru kelas sudah memiliki data pribadi setiap peserta didiknya. Data pribadi yakni berkaitan dengan karateristik spesifik, kemampuan dan kelemahanya, kompetensi yang dimiliki, dan tingkat perkembanganya. Karakteristik spesifik student with special needs pada umumnya berkaitan dengan tingkat perkembangan fungsional . Karaktristik spesifik tersebut meliputi tingkat perkembangan sensori motor, kognitif, kemampuan berbahasa, ketrampilan diri, konsep diri, kemampuan berinteraksi social serta kreativitasnya.
Untuk mengetahui secara jelas tentang karakteristik dari setiap siswa seorang guru terlebih dahulu melakukan skrining atau asesmen agar mengetahui secara jelas mengenai kompetensi diri peserta didik bersangkutan. Tujuannya agar saat memprogamkan pembelajaran sudah dipikirkan mengenbai bentuk strategi  pembelajaran yanag di anggap cocok. Asesmen di sini adalah proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan social, melalui pengamatan yang sensitive. Kegiatan ini biasanya memerlukan penggunaan instrument khusus secara baku atau di buat sendiri oleh guru kelas.
Model pembelajaran terhadap peserta didik berkebutuhan khusus yang di persiapkan oleh guru di sekolah, di tujukan agar peserta didik mampu berinteraksi terhadap lingkungan social. Pembelajaran tersebut disusun secara khusus melalui penggalian kemampuan diri peserta didik yang didasarkan pada kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi ini terdiri atas empat ranah yang perlu diukur meliputi kompetensi fisik, kompetensi afektif, kompetensi sehari- hari dan kompetensi akademik. [1]Dalam makalah ini akan dibahas mengenai ”Strategi Pembelajaran bagi Anak Berkebutuhan Khusus”
  1. 2. Rumusan Masalah
    1. Apakah definisi dari anak berkebutuhan khusus?
    2. Bagaimana jenis dan karakteristik anak berkebutuhan khusus?
    3. Bagaimana strategi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus?
  1. 3. Tujuan
    1. Menjelaskan definisi dari anak berkebutuhan khusus.
    2. Mengidentifikasi jenis dan karakteristik anak berkebutuhan khusus.
    3. Menjelaskan strategi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus.

  1. B. PEMBAHASAN
  2. 1. Definisi Anak  Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.[2] Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan/ penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional) dalam proses pertumbuhkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.[3]
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa (ALB)” yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
  1. 2. Jenis Dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus yang paling banyak mendapat perhatian guru antara lain[4] :
a.Tunagrahita (Mental retardation)
Ada beberapa definisi dari tunagrahita, antara lain:
  1. American Association on Mental Deficiency (AAMD) dalam B3PTKSM, (p. 20) mendefinisikan retardasi mental/tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes individual; yang muncul sebelum usia 16 tahun; dan menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif.
  2. Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22), mendefinisikan retardasi mental/tunagrahita ialah fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 ke bawah berdasarkan tes intelegensi baku; kekurangan dalam perilaku adaptif; dan terjadi pada masa perkembangan, yaitu antara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.
  3. The New Zealand Society for the Intellectually Handicapped menyatakan tentang tunagrahita adalah bahwa seseorang dikatakan tunagrahita apabila kecerdasannya jelas-jelas di bawah rata-rata dan berlangsung pada masa perkembangan serta terhambat dalam adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan sosialnya.
  4. Definisi tunagrahita yang dipublikasikan oleh American Association on Mental Retardation (AAMR). Di awal tahun 60-an, tunagrahita merujuk pada keterbatasan fungsi intelektual umum dan keterbatasan pada keterampilan adaptif. Keterampilan adaptif mencakup area : komunikasi, merawat diri, home living, keterampilan sosial, bermasyarakat, mengontrol diri, functional academics, waktu luang, dan kerja. Menurut definisi ini, ketunagrahitaan muncul sebelum usia 18 tahun.
  5. Menurut WHO seorang tunagrahita memiliki dua hal yang esensial yaitu fungsi intelektual secara nyata di bawah rata-rata dan adanya ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan norma dan tututan yang berlaku dalam masyarakat.[5]
Adapun cara mengidentifikasi seorang anak termasuk tunagrahita yaitu melalui beberapa indikasi sebagai berikut:
  1. Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar,
  2. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia,
  3. Perkembangan bicara/bahasa terlambat
  4. Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong),
  5. Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali),
  6. Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler).
    1. b. Tunalaras (Emotional or behavioral disorder)
  • Nilai standarnya 4
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.
Menurut Eli M. Bower (1981), anak dengan hambatan emosional atau kaelainan perilaku, apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut:
  1. Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena factor intelektual, sensori atau kesehatan.
  2. Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru.
  3. Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya.
  4. Secara umum mereka selalu dalam keadaan pervasive dan tidak menggembirakan atau depresi.
  5. Bertendensi kea rah symptoms fisik: merasa sakit atau ketakutan berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah.
Anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku juga bisa diidentifikasi melalui indikasi berikut:[6]
  1. Bersikap membangkang,
  2. Mudah terangsang emosinya,
  3. Sering melakukan tindakan aggresif,
  4. Sering bertindak melanggar norma social/norma susila/hukum.
    1. c. Tunarungu Wicara (Communication disorder and deafness)
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah:[7]
  1. Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB),
  2. Gangguan pendengaran ringan(41-55dB),
  3. Gangguan pendengaran sedang(56-70dB),
  4. Gangguan pendengaran berat(71-90dB),
  5. Gangguan pendengaran ekstrim/tuli(di atas 91dB).
Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.
Berikut identifikasi anak yang mengalami gangguan pendengaran[8]:
  1. Tidak mampu mendengar,
  2. Terlambat perkembangan bahasa,
  3. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
  4. Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara,
  5. Ucapan kata tidak jelas,
  6. Kualitas suara aneh/monoton,
  7. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar,
  8. Banyak perhatian terhadap getaran,
  9. Keluar nanah dari kedua telinga,
  10. Terdapat kelainan organis telinga.
  • Nilai standarnya 7.
  1. d. Tunanetra (Partially seing and legally blind)
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium).
Berikut identifikasi anak yang mengalami gangguan penglihatan:[9]
  1. Tidak mampu melihat,
  2. Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter,
  3. Kerusakan nyata pada kedua bola mata,
  4. Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan,
  5. Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya,
  6. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering,
  7. Mata bergoyang terus.
  • Nilai standarnya adalah 6, artinya bila anak mengalami minimal 6 gejala di atas, maka anak termasuk tunanetra.
  1. e. Tunadaksa (physical disability)
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
Berikut identifikasi anak yang mengalami kelainan anggota tubuh tubuh/gerak tubuh:[10]
  1. Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh,
  2. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali),
  3. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa,
  4. Terdapat cacat pada alat gerak,
  5. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam,
  6. Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal,
  7. Hiperaktif/tidak dapat tenang.
  • Nilai standarnya 5.
  1. f. Tunaganda (Multiple handicapped)
Menurut Johnston & Magrab, tunaganda adalah mereka yang mempunyai kelainan perkembangan mencakup kelompok yang mempunyai hambatan-hambatan perkembangan neurologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan dalam kemampuan seperti intelegensi, gerak, bahasa, atau hubungan pribadi di masyarakat.
Walker (1975) berpendapat mengenai tunaganda sebagai berikut:
  1. Seseorang dengan dua hambatan yang masing-masing memerlukan layanan-layanan pendidikan khusus.
  2. Seseorang dengan hambatan-hambatan ganda yang memerlukan layanan teknologi.
  3. Seseorang dengan hambatan-hambatan yang memerlukan modifikasi khusus.
    1. g. Kesulitan Belajar (Learning disabilities)
Anak dengan kesulitan belajar adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat memengaruhi kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia, dan afasia perkembangan. individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau diatas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan keterlambatan perkembangan konsep.
Berikut adalah karakteristik anak yang mengalami kesulitan belajar dalam membaca, menulis dan berhitung[11]:
  1. Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
  2. Perkembangan kemampuan membaca terlambat,
  3. Kemampuan memahami isi bacaan rendah,
  4. Kalau membaca sering banyak kesalahan
  • Nilai standarnya 3.
  1. Anak yang mengalami kesulitan menulis (disgrafia)
  2. Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai,
  3. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya,
  4. Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,
  5. Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang,
  6. Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
  • Nilai standarnya 4.
  1. Anak yang mengalami kesulitan berhitung (diskalkula)
  2. Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =
  3. Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan,
  4. Sering salah membilang dengan urut,
  5. Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya,
  6. Sulit membedakan bangun-bangun geometri.
  • Nilai standarnya 4.
  1. h. Anak Berbakat (Giftedness and special talents)
Menurut Milgram, R.M (1991:10), anak berbakat adalah mereka yang mempunyai skor IQ 140 atau lebih diukur dengan instrument Stanford Binet (Terman, 1925), mempunyai kreativitas tinggi (Guilford, 1956), kemampuan memimpin dan kemampuan dalam seni drama, seni tari dan seni rupa (Marlan, 1972).
Anak berbakat mempunyai empat kategori, sebagai berikut:
  1. Mempunyai kemampuan intelektual atau intelegensi yang menyeluruh, mengacu pada kemampuan berpikir secara abstrak dan mampu memecahkan masalah secara sistematis dan masuk akal.
  2. Kemampuan intelektual khusus, mengacu pada kemampuan yang berbeda dalam matematika, bahasa asing, music, atau ilmu pengetahuan alam.
  3. Berpikir kreatif atau berpikir murni menyeluruh. Pada umumnya mampu berpikir untuk menyelesaikan masalah yang tidak umum dan memerlukan pemikiran tinggi.
  4. Mempunyai bakat kreatif khusus, bersifat orisinil dan berbeda dengan yang lain.
Dari keempat kategori di atas, maka anak berbakat adalah mereka yang mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul dalam segi intelektual, teknik, estetika, social, fisik (Freemen, J. 1975:120), akademik, psikomotor dan psikososial (Sisk,1987 dalam Amin, M. 1996:3).
Berikut identifikasi anak berbakat atau anak yang memilki kecerdasan dan kemampuan yang luar biasa[12]:
  1. Membaca pada usia lebih muda,
  2. Membaca lebih cepat dan lebih banyak,
  3. Memiliki perbendaharaan kata yang luas,
    1. Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat,
    2. Mempunayi minat yang luas, juga terhadap masalah orang dewasa,
  4. Mempunyai inisiatif dan dapat berkeja sendiri,
  5. Menunjukkan keaslian (orisinalitas) dalam ungkapan verbal,
    1. Memberi jawaban-jawaban yang baik,
  6. Dapat memberikan banyak gagasan,
  7. Luwes dalam berpikir,
    1. Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan,
  8. Mempunyai pengamatan yang tajam,
m.  Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu panjang, terutama terhadap
  1. tugas atau bidang yang diminati,
  2. Berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri,
    1. Senang mencoba hal-hal baru,
    2. Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi,
    3. Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan masalah,
  3. Cepat menangkap hubungan sebabakibat,
  4. Berperilaku terarah pada tujuan,
  5. Mempunyai daya imajinasi yang kuat,
    1. Mempunyai banyak kegemaran (hobi),
w.  Mempunyai daya ingat yang kuat,
  1. Tidak cepat puas dengan prestasinya,
  2. Peka (sensitif) serta menggunakan firasat (intuisi),
  3. Menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan.
  4. i. Anak Autistik
  • Nilai standarnya 18.
Autism Syndrome merupakan kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada ketidakmampuan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak. Gejala-gejala autism menurut Delay & Deinaker (1952) dan Marholin & Philips (1976) antara lain:
  1. Senang tidur bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan tampang acuh, muka pucat, dan mata sayu dan selalu memandang ke bawah.
  2. Selalu diam sepanjang waktu.
  3. Jika ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan dengan nada monoton, kemudian dengan suara yang aneh akan menceritakan dirinya dengan beberapa kata kemudian diam menyendiri lagi.
  4. Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan rasa takut dan tidak menyenangi sekelilingnya.
  5. Tidak tampak ceria.
  6. Tidak peduli terhadap lingkungannya, kecuali terhadap benda yang disukainya.
Secara umum anak autis mengalami kelainan dalam berbicara, kelainan fungsi saraf dan intelektual, Hal tersebut dapat terlihat dengan adanya keganjilan perilaku dan ketidakmampuan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
  1. j. Hyperactive (Attention Deficit Disorder with Hyperactive)
Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau symptoms. (Batshaw & Perret, 1986: 261).symptoms terjadi disebabkan oleh factor-faktor brain damage, an emotional disturbance, a hearing deficit or mental retardaction. Dewasa ini banyak kalangan medis masih menyebut anak hiperaktif dengan istilah attention deficit disorder (ADHD) (Solek, P. 2004:4)
  1. 3. Strategi Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus (ABK) ini ada dua kelompok, yaitu: ABK temporer (sementara) dan permanen (tetap). Adapun yang termasuk kategori ABK temporer meliputi: anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak-anak jalanan (anjal), anak-anak korban bencana alam, anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak yang menjadi korban HIV-AIDS. Sedangkan yang termasuk kategori ABK permanen adalah anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, Autis, ADHD (Attention Deficiency and Hiperactivity Disorders), Anak Berkesulitan Belajar, Anak berbakat dan sangat cerdas (Gifted), dan lain-lain.
Untuk menangani ABK tersebut dalam setting pendidikan inklusif di Indonesia, tentu memerlukan strategi khusus. Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa: sekolah inklusi[13] adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) menyatakan bahwa: pendidikan inklusi[14] adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya perombakan sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, sehingga sumber belajar menjadi memadai dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Dalam hal ini, ada empat strategi pokok yang diterapkan pemerintah, yaitu: peraturan perundang-undangan yang menyatakan jaminan kepada setiap warga negara Indonesia (termasuk ABK temporer dan permanen) untuk memperoleh pelayanan pendidikan, memasukkan aspek fleksibilitas dan aksesibilitas ke dalam sistem pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Selain itu, menerapkan pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan mengoptimalkan peranan guru.
Di bawah ini beberapa strategi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus:
  1. 1. Strategi pembelajaran bagi anak tunanetra
Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan secara tepat dan optimal dari semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran yang meliputi tujuan, materi pelajaran, media, metode, siswa, guru, lingkungan belajar dan evaluasi sehingga proses pembelajaran berjalan dengan efektif dan efesien. Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi pembelajaran , antara lain:
  1. Berdasarkan pengolahan pesan terdapat dua strategi yaitu strategi pembelajaran deduktif dan induktf.
  2. Berdasarkan pihak pengolah pesan yaitu strategi pembelajaran ekspositorik dan heuristic.
  3. Berdasarkan pengaturan guru yaitu strategi pembelajaran dengan seorang guru dan beregu.
  4. Berdasarkan jumlah siswa yaitu strategi klasikal, kelompok kecil dan individual.
  5. Beradsarkan interaksi guru dan siswa yaitu strategi tatap muka, dan melalui media.
Selain strategi yang telah disebutkan di atas, ada strategi lain yang dapat diterapkan yaitu strategi individualisasi, kooperatif dan modifikasi perilaku.
  1. 2. Strategi pembelajaran bagi anak berbakat
Strategi pembelajaran yang sesuai denagan kebutuhan anak berbakat akan mendorong anak tersebut untuk berprestasi. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam meneentukan strategi pembelajaran adalah :
  1. Pembelajaran harus diwarnai dengan kecepatan dan tingkat kompleksitas.
  2. Tidak hanya mengembangkan kecerdasan intelektual semata tetapi juga mengembangkan kecerdasan emosional.
  3. Berorientasi pada modifikasi proses, content dan produk.
Model-model layanan yang bias diberikan pada anak berbakat yaitu model layanan perkembangan kognitif-afektif, nilai, moral, kreativitas dan bidang khusus.
  1. 3. Strategi pembelajaran bagi anak tunagrahita
Strtegi pembelajaran anak tunagrahita ringan yang belajar di sekolah umum akan berbeda dengan strategi anak tunagrahita yang belajar di sekolah luar biasa. Strategi yang dapat digunakan dalam mengajar anak tunagrahita antara lain;
  1. Strategi pembelajaran yang diindividualisasikan
  2. Strategi kooperatif
  3. Strategi modifikasi tingkah laku
  1. 4. Strategi pembelajaran bagi anak tunadaksa
Strategi yang bias diterapkan bagi anak tunadaksa yaitu melalui pengorganisasian tempat pendidikan, sebagai berikut:
  1. Pendidikan integrasi (terpadu)
  2. Pendidikan segresi (terpisah)
  3. Penataan lingkungan belajar
  4. 5. Strategi pembelajaran bagi anak tunalaras
Untuk memberikan layanan kepada anak tunalaras, Kauffman (1985) mengemukakan model-model pendekatan sebagai berikut;
  1. Model biogenetic
  2. Model behavioral/tingkah laku
  3. Model psikodinamika
  4. Model ekologis
  5. 6. Strategi pembelajaran bagi anak dengan kesulitan belajar
    1. Anak berkesulitan belajar membaca yaitu melalui program delivery dan remedial teaching
    2. Anak berkesulitan belajar menulis yaitu melalui remedial sesuai dengan tingkat kesalahan.
    3. Anak berkesulitan belajar berhitung yaitu melalui program remidi yang sistematis sesuai dengan urutan dari tingkat konkret, semi konkret dan tingkat abstrak.
  6. 7. Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu
Strategi yang biasa digunakan untuk anak tunarungu antara lain: strategi deduktif, induktif, heuristic, ekspositorik, klasikal, kelompok, individual, kooperatif dan modifikasi perilaku.
  1. C. KESIMPULAN
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa (ALB)” yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka.
Anak berkebutuhan khusus (ABK) ini ada dua kelompok, yaitu: ABK temporer (sementara) dan permanen (tetap). Adapun yang termasuk kategori ABK temporer meliputi: anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak-anak jalanan (anjal), anak-anak korban bencana alam, anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak yang menjadi korban HIV-AIDS. Sedangkan yang termasuk kategori ABK permanen adalah anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, Autis, ADHD (Attention Deficiency and Hiperactivity Disorders), Anak Berkesulitan Belajar, Anak berbakat dan sangat cerdas (Gifted), dan lain-lain.




















DAFTAR PUSTAKA
Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Refika Aditama.
Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Tunagrahita. Bandung: Refika Aditama.
Wardani, I.G.A.K. 2007. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka.
Hamalik, Oemar. 2007. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Skjorten, MD. (2001). Towards Inclusion, Education-Special Needs Education An
Introduction.Oslo: Unipub forlag.
Santrock, John W. (1997). Live-Span Development.Sixth Edition. USA. Brown &
Benchmark Publisher.
Skjorten, MD. (2001). Towards Inclusion and Enrichment, Artikel in Johnsen. Oslo: Unipub forlag.
http://www.bintangbangsaku.com/content/prinsip-prinsip-pembelajaran-di-sekolah-inklusi-tuna-laras
http://www.pdfqueen.com/html
http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus
http://bintangbangsaku.com/artikel/tag/anak-berkebutuhan-khusus
http://vantheyologi.wordpress.com/2009/10/19/anak-tuna-netra/

[1] Greenspan, 1997: 131, dalam smith et al., 2002: 95. [2] http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus
[3] http://bintangbangsaku.com/artikel/tag/anak-berkebutuhan-khusus
[4] Kauffman dan Hallahan. Th. 2005: 28-45.
[5] http://bintangbangsaku.com/artikel/tag/anak-berkebutuhan-khusus
[6] http://bintangbangsaku.com/artikel/tag/anak-berkebutuhan-khusus
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus
[8] http://bintangbangsaku.com/artikel/tag/anak-berkebutuhan-khusus
[9] http://bintangbangsaku.com/artikel/tag/anak-berkebutuhan-khusus
[10] http://bintangbangsaku.com/artikel/tag/anak-berkebutuhan-khusus
[11] http://bintangbangsaku.com/artikel/tag/anak-berkebutuhan-khusus
[12] http://bintangbangsaku.com/artikel/tag/anak-berkebutuhan-khusus
[13] http://www.bintangbangsaku.com/content/prinsip-prinsip-pembelajaran-di-sekolah-inklusi-tuna-laras
[14] http://www.bintangbangsaku.com/content/prinsip-prinsip-pembelajaran-di-sekolah-inklusi-tuna-laras

Pendidikan Inklusi

Pendidikan Inklusi

Quantcast Sekilas Tentang Pendidikan Di Indonesia Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat. Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak – anak difabel dengan anak – anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Munculnya Pendidikan Inklusi Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para guru. Selain itu pada tahun 2004 juga diadakan dua Kongres yang menghasilkan kesepakatan di bawah ini.
  1. Kongres Internasional ke-8 tentang mengikutsertakan anak penyandang kecacatan ke dalam masyarakat; Menuju Kewarganegaraan yang Penuh 15-17 Juni 2004 Stavanger
Oleh karena itu, kami, peserta Kongres Internasional tentang Mengikutsertakan Anak dan Remaja Penyandang Kecacatan ke dalam Kehidupan Masyarakat. Menghimbau bahwa negara-negara harus:
  • Memformulasikan Sebuah Rencana Aksi Nasional dengan tujuan yang dinyatakan secara jelas yang berkaitan dengan aksesibilitas, kesehatan – dan layanan sosial dan pendidikan untuk semua anak.
  • Menjamin hak atas kewarganegaraan yang penuh dari Anak penyandang Kecacatan dalam semua aspek kehidupan masyarakat seperti layanan kesehatan, pendidikan, program perawatan anak dan program rekreasi.
  • Memperkuat partisipasi dan pengaruh anak dan remaja dalam masyarakat dengan memberikan kesempatan untuk ikut serta dalam perencanaan, perancangan dan manajemen dari berbagai macam layanan dan aktivitas yang mempengaruhi kehidupan mereka.
  • Mempromosikan inklusif anak-anak dan remaja penyandang kecacatan dalam semua sektor sistem pendidikan seperti pusat rawatan harian, sekolah dasar dan menegah lanjutan, sekolah menengah atas, perguruan tinggi dan semua bentuk pendidikan tinggi, dan juga transisi antara level pendidikan dan pelatihan kerja.
  • Memperkuat pengukuran kesejahteraan anak yang bersifat preventif yang menargetkan pada anak dan keluarga dan mempromosikan partisipasi dan komunikasi di antara anak, remaja dan mereka yang terlibat dalam layanan kesejahteraan untuk mereka.
    [Peserta Indonesia dari Depdiknas; Dinas Pendidikan Jawa Barat, Sumatera Barat dan Payakumbuh; Universitas Negeri Padang, Universitas Pendidikan Indonesia; PERTUNI
  1. Deklarasi Bandung: Indonesia Menuju Pendidikan Inklusi
    Bandung, 11 Agustus 2004
Bahwasanya keberadaan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya di Indonesia untuk mendapatkan kesamaan hak dalam berbicara, berpendapat, memperoleh pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan, sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945; mendapatkan hak dan kewajiban secara penuh sebagai warga negara, sebagaimana tertuang dalam
  • Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia [1948],
  • diperjelas oleh Konvensi Hak Anak [1989],
  • Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua [1990],
  • Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat [1993],
  • Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO [1994],
  • Undang-undang Penyandang Kecacatan [1997],
  • Kerangka Aksi Dakar [2000],
  • Undang-undang RI Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional [2003], dan
Deklarasi Kongres Anak Internasional [2004].
Seluruh dokumen tersebut memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya dalam memperoleh pendidikan yang bermutu dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat. Menyadari kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang beragam, maka kami sepakat Menuju Pendidikan Inklusif.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kami, peserta Lokakarya Nasional tentang Pendidikan Inklusif yang diselenggarakan di Bandung, Indonesia tanggal 8-14 Agustus 2004 menghimbau kepada pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri serta masyarakat untuk dapat:
  1. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesamaan akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi penerus yang handal.
  2. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya, sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan tuntutan masyarakat, tanpa perlakuan deskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hukum, politis maupun kultural.
  3. Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan inklusif yang ditunjang kerja sama yang sinergis dan produktif di antara para stakeholders, terutama pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri, orang tua serta masyarakat.
  4. Menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pemenuhan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya, sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan keunikan potensinya secara optimal.
  5. Menjamin kebebasan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya untuk berinteraksi baik secara reaktif maupun proaktif dengan siapapun, kapanpun dan di lingkungan manapun, dengan meminimalkan hambatan.
  6. Mempromosikan dan mensosialisasikan layanan pendidikan inklusif melalui media masa, forum ilmiah, pendidikan dan pelatihan, dan lainnnya secara berkesinambungan.
  7. Menyusun Rencana Aksi [Action Plan] dan pendanaannya untuk pemenuhan aksesibilitas fisik dan non-fisik, layanan pendidikan yang berkualitas, kesehatan, rekreasi, kesejahteraan bagi semua anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya.
Pernyataan ini dibuat dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab untuk Menuju Pendidikan Inklusif di Indonesia. Namun persoalan yang terjadi hari ini adalah masyarakat sudah melebel seseorang atau anak dengan lebel cacat, yang seolah-olah tidak bermanfaat sama sekali bagi nusa dan bangsa. Bagaimana orang lain memperhatikan anak yang berkebutuhan khusus ini dengan baik, dan mengoptimalkan kelebihan yang dimilikinya dengan menyediakan semua akses yang dibutuhkannya. Banyak bukti bahwa kecacatan bukanlah sebuah penghalang dalam menggapai cita-cita seperti Stephen Hopkins, seorang ahli fisika ternama dari USA. Yang lebih fenomenal lagi adalah sosok Helen Keller (1880-1968). Wanita luar biasa ini lulus cumlaude dari Radcliffe College tahun 1904, padahal ia menjadi orang buta-tuli-bisu pertama dengan kelulusan terbaik. Keller menjadi buta dan tuli di usia 19 bulan. Berkat bantuan keluarganya dan bimbingan Annie Sullivan yang juga buta –namun setelah melewati serangkaian operasi akhirnya dapat melihat secara terbatas– Keller berhasil menepis anggapan bahwa keterbatasan fisik membuat tidak berdaya atau tidak bisa berprestasi. Keller pernah berkata; ‘Character cannot be developed in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved’. Keller mendapatkan berbagai penghargaan di tingkat nasional dan internasional atas prestasi dan pengabdiannya. Pengertian Pendidikan Inklusi Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi, diantaranya adalah pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.Ada juga yang memakanai pendidikan inklusi sebagai model Penyelenggaraan Program Pendidikan bagi anak berkelainan atau cacat dimana penyelenggaraannya dipadukan bersama anak normal dan tempatnya di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga bersangkautan. Dalam sebuah konferensi tingkat menteri pendidikan negara-negara Afrika (MINEDAF VIII), mereka mendefinisikan pendidikan inklusi adalah sebuah sistem pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus dapat belajar di sekolah umum yang ada di lingkungan mereka dan sekolah tersebut dilengkapi dengan layanan pendukung serta pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Salah satu pendapat yang paling ekstrim di simpulkan oleh M.N.G Mani, Direktur International Human Resource Development Center mangatakan bahwa pendidikan inklusi itu merupakan sebuah ideologi dan bukan sebuah program. Dalam sebuah concept papernya, Save the Children UK menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan inklusi itu adalah untuk untuk memastikan bahwa semua anak memiliki akses terhadap pendidikan yang terjangkau, efektif, relevan dan tepat dalam wilayah tempat tinggalnya. Pendidikan ini berawal dari dalam rumah bersama keluarga dan diterapkan juga dalam pendidikan formal, non formal serta semua jenis pendidikan yang berbasis masyarakat. Itulah beberapa definisi dan tujuan dari pendidikan inklusi yang merupakan hal yang baru bagi kita. Dari sini kita bisa melihat bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara anak cacat (berkebutuhan khusus) dengan anak normal lainnya. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dari pengertian di atas dapat kita pahami bahwa pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Di Indonesia pendidikan inklusi ini masih tergolong baru dan masih banyak juga masyarakat yang belum mengetahuinya. Proses menuju pendidikan inklusi Ada tiga tahap dalam masa transisi yang dialami dalam dunia pendidikan menuju pendidikan yang inklusi. Pertama adalah segregasi, dalam tahap segregasi ini sangat jelas terlihat tereklusinya sebuah pendidikan, dimana kurikulum dan sistem pendidikan masih terpisah antara sekolah regular dan sekolah luar biasa, belum adanya partisipasi dari semua pihak. Dalam tahap ini anak yang berkebutuhan khusus masih sulit untuk memperoleh pendidikan, karena terbatasnya akses untuk mereka, sementara tanggung jawabnya masih pada penyelenggara penddidikan masing-masing. Kedua adalah integrasi, dalam tahap ini kurikulum dan sistem pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus masih merupakan bagian dari sekolah regular, belum adanya partisipasi penuh dan guru biasa belum terbiasa beradaptasi dengan anak yang berkebutuhan khusus. Dan tanggungjawabnya masih tergantung pada relasi dan kepedulian masing-masing guru. Tahap yang ketiga adalah Inklusi, tahap inilah yang akan membawa perubahan-perubahan dalam kesadaran dan sikap, keadaan, metodologi, pengguanaan konsep-konsep terkait dan sebagainya. Dalam tahap ini kurikulum sudah dirancang sesuai dengan kebutuhan anak dan system pendidikannya ada di sekolah umum, dimana pelaksanaan pendidikan, pengelolaan kelas dapat menjamin peningkatan pendidikan dan akses untuk semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus. Dalam tahap ini juga Sebagian besar anak berkebutuhan khusus dapat belajar di sekolah umum dengan akses dan lingkungan yang kondusif. Guru dapat memperkaya wawasan serta meningkatkan kreativitas dalam pengelolaan kelas. Siswa/siswi lain menerima perbedaan yang ada dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi serta mampu menjalin persahabatan dengan anak berkebutuhan khusus. Orang tua anak berkebutuhan khusus merasa yakin bahwa anaknya akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Guru wali kelas, guru bidang studi serta guru pembimbing khusus bertangung jawab penuh pada kelangsungan proses belajar anak berkebutuhan khusus. Payung Hukum pelaksanaan pendidikan inklusi Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujutkan tujuan Nasional. Lebih dari 15 tahun, pemerintah Indonesia telah menyadari kebutuhan untuk meningkatkan pendidikan yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia dan prakarsa Pendidikan Untuk Semua (EFA) telah mulai mendapat perhatian. Meskipun demikian, pelaksanaan sistem pendidikan tersebut masih tersendat. “Rencana Pendidikan Nasional: Pendidikan Untuk Semua” 49.647 dari perkiraan satu juta lebih anak dengan kebutuhan khusus dapat mengenyam pendidikan. Sekitar 67% dari keseluruhan lembaga pendidikan tempat anak-anak ini belajar merupakan lembaga non-pemerintah. Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi ini sudah ditopang oleh beberapa kebijakan diantaranya adalah: Kebijakan international: Kebijakan internasional mengenai pendidikan inklusi ini adalah 1) Deklarasi Internasional Tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Pasal 16) ayat 1 dan 2; 2) Konferensi Jomtien Tahun 1990 tentang pendidikan untuk semua dan penyediaan akses pendidikan dasar bagi semua anak pada tahun 2000; 3) Konferensi Dunia Salamanca Tahun 1994 Tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus di mana menghasilkan kerangka kerja mengenai penyediaan akses dan standardisasi kualitas pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus; 4) Konferensi Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal Tahun 2000. Selanjutnya yang kedua adalah Kebijakan Nasional: Kebijakan nasional mengenai penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah 1) Undang – Undang Dasar 1945, Pembukaan UUD 1945 alenia ke-empat, Pasal 31; 2) Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, pasal 4 ayat 1, pasal 11 ayat 1 dan pasal 12 ayat 1b; 3) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional, pasal 41; 4) Keputusan Presiden No. 36/1990 tentang Pengesahan dari pengakuan akan hak-hak anak; 5) Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0306/VI/1995 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar; 6) Surat Edaran No. 380/G.06/MN/2003 dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional tanggal 20 Januari 2003 tentang Pendidikan Inklusi. Tahapan-tahapan dalam pelaksanaan pendidikan inklusi Tahapan – tahapan dalam pendidikan Inklusi antara lain; sosialisasi, persiapan sumber daya (preparing resources), dan uji coba (try out) metode pembelajaran. Sosialisasi pendidikan inklusi dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara umum tentang maksud dan tujuan pendidikan inklusi kepada tenaga pengajar, siswa, dan orang tua. Fungsi sosialisasi sangat penting untuk membangun pra kondisi lingkungan sekolah dan juga kesiapan mental baik bagi siswa maupun para guru.Tahap selanjutnya adalah mempersiapkan sumber daya yang menyangkut kesiapan peralatan peraga untuk simulasi dan kesiapan ketrampilan tenaga pelaksana pendidikan. Kelengkapan peraga untuk pendidikan inklusi memang lebih kompleks dibanding dengan alat peraga ajar yang umum digunakan. Sehingga dituntut kreatifitas dari guru untuk melakukan simulasi proses belajar mengajar. Sementara persiapan tenaga pelaksana pendidikan adalah dengan melakukan pelatihan (training) tentang beberapa metode pelaksanaan pendidikan inklusi kepada para guru. Jika kedua langkah tersebut telah dilaksanakan maka langkah terakhir adalah melakukan uji coba metode pendidikan inklusi pada sekolah yang ditunjuk. Uji coba dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana tingkat efektifitas metode yang digunakan sekaligus untuk melakukan evaluasi sehingga dapat dicari solusi tepat untuk melakukan perbaikan jika ditemukan kekurangan. Ketika ketiga langkah tersebut sudah terlaksana dengan baik, maka pendidikan inklusi mulai dapat diaplikasikan pada sekolah yang ditunjuk sebagai pilot project. Pelaksanaan Pendidikan Inklusi Dalam menangani anak berkelainan diperlukan keahlian tersendiri karena tidak semua aktivitas di sekolah dapat diikuti oleh anak cacat, missal anak cacat netra tak mampu mengikuti pelajaran menggambar atau olah raga begitu pula anak tuna rungu sulit mengikuti pelajaran seni suara dan cacat yang lain perlu penanganan khusus karena keterbatasannya. Maka sangat diperlukan guru pembimbing khusus yang mampu memehami sekaligus menangani keberadaan anak cacat termasuk di dalamnya memahami karakter dari masing-masing jenis kecacatannya. Di samping membutuhkan guru khusus, juga perlu membekali pengetahuan tentang karakter anak cacat terhadap guru umum, siswa yang normal maupun masyarakat sekitar dnegan harapan anak cacat tersbut dapat diperlalukan secara wajar. Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi memang tidak sesederhana menyelenggarakan sekolah umum. Kenyataan di lapangan memerlukan sarana yang cukup, misalnya gedung sekolah dengan menyesuaikan kondisi anak. Peralatan pendidikan yang memadai, contoh bagi tuna netra perlu alat tulis Braille, tuna rungu perlu alat Bantu dengar, tuna daksa perlu kursi roda dan masih banyak lagi fasilitas yang harus disediakan dengan harapan anak cacat dapat berkembang kemampuannya secara optimal. Mengingat mahalnya fasilitas yang harus disediakan maka sampai tahun 2005, di seluruh Indonesia baru ada 504 Sekolah Inklusi yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Sebenarnya cukup banyak sekolah regular yang mengajukan menjadi Sekolah Inklusi, yakni 1200 sekolah, sedang yang dilaksanakan baru 504 sekolah dan yang lain perlu dipelajari kesiapan karena konsekuensinya Pemerintah memebrikan subsidi Rp. 5 juta di setiap sekolah dan fasilitas lain sebagai penunjang kegiatan bagi anak yang cacat tersebut. Keberadaan anak cacat (diffable) tak lepas dari peran serta tenaga ahli. Apabila Pendidikan Inklusi benar-benar diselenggarakan secara ideal setiap sekolah harus ada, sebab tanpa pengawasan dan penanganan secara khusus dapat erakibat fatal. Suatu contoh : anak cerebral Palsy (jenis tuna dasa) perlu dokter syaraf, orthopedic dan psikolog, sebab anak seperti ini memerlukan ketenangan jiwa sehingga  mampu menjaga kondisi yang prima. Belum lagi cacat yang lain. Konsekuensi dari penyelenggaraan program ini harus embutuhkan biaya yang mahal, sehingga idealnya pemerintah mengambil peran agar benar-benar pendidikan ini dapat terlaksana dengan baik. Untuk menopang suksesnya penyelenggaraan Pendidikan Inklusi perlu kerjasama dengan semua pihak mengingat kemampuan Pemerintah untuk membantu masih sangat terbatas sementara anak cacat yang belum tertampung mengikuti pendidikan formal semakin banyak sehingga dapat menjadikan kendala suksesnya Wajar 9 Tahun. Keterpaduan kerjasama sangat mendesak sehingga pemerintah tak perlu menunggu waktu lama dengan alasan dana pendidikan terbatas. Alokasi 20 % masih sangat jauh dan sebagainya. Namun, memfungsikan beberapa unsur terkait dapat mengalokasikan program ini. Apabila di sekolah-sekolah umum kekurangan guru khusus dapat mengangkat lulusan SGPLB dan S1 PLB atau mengoptimalkan guru-guru khusus di sekolah terpadu dengan system guru kunjung. Tentang masalah tenaga ahli dapat kerjasama dengan puskesmas atau rumah sakit terdekat dengan cara menjalin kerjasama antara departemen atau institusi dengan diperluas adanya SKB (Surat keputasan Bersama) para pejabat pemerintah. Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok yang homogen. Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan siswa. Mereka juga diharapkan dapat mencari anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan.
  • Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya, sesuai dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan adalah sebagai berikut : 1. Tuna Netra 2. Tuna Rungu 3. Tuna Grahita: (a.l. Down Syndrome) 4. Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70) 5. Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50) 6. Tuna Grahita Berat (IQ < 25) 7. Tuna Daksa 8. Tuna Laras (Dysruptive) 9. Tuna Wicara 10. Tuna Ganda 11. HIV AIDS 12. Gifted : Potensi kecerdasan istimewa (IQ > 125 ) J. Talented : Potensi bakat istimewa (Multiple Intelligences : Language, Logico mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual). 13. Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/ Motorik) 14. Lambat Belajar ( IQ = 70 –90 ) 15. Autis 16. Korban Penyalahgunaan Narkoba 17. Indigo
  • Pendekatan secara kurikulum nasional dikaitkan dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Kurikulum pendidikan nasional yang diterapkan saat ini ternyata sangat menyulitkan anak-anak yang berkebutuhan khusus (ABK), seperti yang terjadi di sekolah-sekolah inklusi. Kebutuhan sekolah inklusi ini bukan kurikulum yang berfokus bagaimana mengarahkan siswa agar sesuai harapan standar kurikulum yang berangkat dari sekedar bagaimana mengatasi keterbatasan siswa, tetapi berangkat dari penghargaan, optimisme dan potensi positif anak yang berkebutuhan khusus. Tetapi kenyataan yang ada sekarang, kurikulum pendidikan nasional masih kaku, arogan dan tidak mau mengalah. Bahkan terhadap siswa yang termasuk ABK, dimana siswanyalah yang harus mengalah dan menyesuaikan diri, bukan kurikulum yang menyesuaikan diri dengan potensi siswa. Kondisi tersebut sangat menyulitkan anak-anak berkebutuhan khusus yang berada dalam kelas inklusi. Selain kurikulum yang menjadi hambatan bagi pengembangan sekolah inklusi adalah, banyak guru yang masih belum memahami program inklusi. Kalaupun ada yang paham, keterampilan untuk menjalankan sekolah inklusi, itupun masih jauh dari harapan. Bahkan ketersediaan guru pendamping khusus juga belum mencukupi. Salah satu program, mendesak yang harus dikuasai guru dalam program sekolah inklusi tersebut adalah menambah pengetahuan dan ketrampilan deteksi dini gangguan dan potensi pada anak. Pendidikan inklusi berarti juga harus melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan, karena keberhasilan pendidikan inklusi tersebut sangat bergantung pada partisipasi aktif orang tua bagi pendidikan anaknya.
  • Model Kelas Inklusi Direktorat PLB (2007: 7) menjelaskan tentang penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut: 1. Kelas reguler (inklusi penuh) Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama. 2. Kelas reguler dengan cluster Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus. 3. Kelas reguler dengan pull out Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. 4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. 5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler. 6. Kelas khusus penuh Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
Pentingnya Pendidikan Inklusi Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas kehidupan dalam masyarakat. Pendidikan inklusi adalah hak asasi manusia, di samping merupakan pendidikan yang baik dan dapat menumbuhkan rasa sosial. Itulah ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan pentingnya pendidikan inklusi. Ada beberapa argumen di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi merupakan hak asasi manusia: (1) semua anak memiliki hak untuk belajar bersama; (2) anak-anak seharusnya tidak dihargai dan didiskriminasikan dengan cara dikeluarkan atau disisihkan hanya karena kesulitan belajar dan ketidakmampuan mereka; (3) orang dewasa yang cacat, yang menggambarkan diri mereka sendiri sebagai pengawas sekolah khusus, menghendaki akhir dari segregrasi (pemisahan sosial) yang terjadi selama ini; (4) tidak ada alasan yang sah untuk memisahkan anak dari pendidikan mereka, anak-anak milik bersama dengan kelebihan dan kemanfaat untuk setiap orang, dan mereka tidak butuh dilindungi satu sama lain (CSIE, 2005). Adapun alasan-alasan di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang baik: (1) penelitian menunjukkan bahwa anak-anak akan bekerja lebih baik, baik secara akademik maupun sosial, dalam setting yang inklusif; (2) tidak ada pengajaran atau pengasuhan dalam sekolah yang terpisah/khusus yang tidak dapat terjadi dalam sekolah biasa; (3) dengan diberi komitmen dan dukungan, pendidikan inklusif merupakan suatu penggunaan sumber-sumber pendidikan yang lebih efektif. Dan argumen-argumen dibalik pernyataan bahwa pendidikan inklusi dapat membangun rasa sosial: (1) segregasi (pemisahan sosial) mendidik anak menjadi takut, bodoh, dan menumbuhkan prasangka; (2) semua anak membutuhkan suatu pendidikan yang akan membantu mereka mengembangkan relasi-relasi dan menyiapkan mereka untuk hidup dalam arus utama; dan (3) hanya inklusi yang berpotensi untuk mengurangi ketakutan dan membangun persahabatan, penghargaan dan pengertian (CSIE, 2005). Pertimbangan filosofis yang menjadi basis pendidikan inklusi paling tidak ada tiga. Pertama, cara memandang hambatan tidak lagi dari perspektif peserta didik, namun dari perspektif lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah harus memainkan peran sentral dalam transformasi hambatan-hambatan peserta didik. Kedua, perspektif holistik dalam memandang peserta didik. Dengan perspektif tersebut, peserta didik dipandang mampu dan kreatif secara potensial. Sekolah bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan di mana potensi-potensi tersebut berkembang. Ketiga, prinsip non-segregasi. Dengan prinsip ini, sekolah memberikan pemenuhan kebutuhan kepada semua peserta didik. Organisasi dan alokasi sumber harus cukup fleksibel dalam memberikan dukungan yang dibutuhkan kelas. Masalah yang dihadapi peserta didik harus didiskusikan terus menerus di antara staf sekolah, agar dipecahkan sedini mungkin untuk mencegah munculnya masalah-masalah lain (UNESCO, 2003). Ada tiga langkah penting menuju inklusi yang nyata: komunitas, persamaan dan partisipasi. Semua staf yang terlibat dalam pendidikan merupakan suatu komunitas yang memiliki visi dan pemahaman yang sama tentang pendidikan inklusi, baik konsep dan pentingnya maupun dasar-dasar filosofis. Setiap anggota komunitas memiliki persamaan (hak yang sama), dan—karena itu—sama-sama berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan inklusi, sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasinya. Dalam pendidikan inklusi, sistem sekolah tidak berhak menentukan tipe peserta didik, namun sebaliknya sistem sekolah yang harus menyesuaikan untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik. Terkait dengan ini, ada ungkapan bahwa komunitas (semua staf yang terlibat dalam pendidikan inklusi) ‘melampaui dan di atas’ (over and above) kurikulum (UNESCO, 2003). Kelebihan pelaksanaan pendidikan inklusi Pendidikan Inklusi dalam penyelenggaraannya memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pendidikan terpadu atau pendidikan khusus (segregasi) sehingga sangat tepat apabila pemerintah menyelenggarakan dan mengembangkan program ini. Dengan diselenggarakannya pendidikan Inklusi bukan berarti SLB (Sekolah Luar Biasa), sekolah terpadu dan SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) ditutup, akan tetapi dijadikan mitra kerja yang baik dengan penyelenggaraan Sekolah Inklusi , bahkan kalau perlu dijadikan laboratorium sekolah dan nara sumber bagi guru0guru khusus yang mengajar di sekolah inklusi. Munculnya sekolah inklusi karena memiliki beberapa keistimewaan antara lain : 1) keberadaan anak cacat diakui sejajar dengan anak normal; 2) lingkungan mengajarkan kebersamaan dan menghilangkan diskriminasi; 3) memberi kesan pada orang tua dan masyarakat bahwa anak cacat pun mampu seperti anak pada umumnya; 4) anak yang berkelainan akan belajar meerima dirinya sebagaimana adanya dan juga tidak menkadi asing lagi di lingkungannya; 5) aktivitas yang mungkin dapat diikuti anak cacat ada  kesempatan untk berpartisipasi sehingga dapat menunjukkan kemampuannya di lingkungan anak normal; dan 6) membutuhkan pegangan diri yaitu dnegan belajar secara kompetitif, eksistensi anak caat akan teruji dalam persaingan secara sehat dengan anak pada umumnya. Penyelenggaraan tersebut pada hakekatnya memebrikan kesempatan yang sama setiap peserta didik dalam mengikuti pendidikan denganSistem Persekolahan Reguler sesuai dengankebutuhan individunya tanpa membedakanlatar belakang agama, budaya, social, sekonomi maupun suku. Namun menngharap anak manusia yang berkualitas sekalipun  cacat. Sungguh merupakan harapan kita semua Program Penyelenggaraan Sekolah Inklusi ini dapat terlaksana dengan baik atas dasar kepedulian Pemerintah dan kepedulian kita bersama. Dilema pendidikan inklusi Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusif (inclusive society). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas kehidupan. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Undang – undang tentang pendidikan inklusi dan bahkan uji coba pelaksanaan pendidikan inklusinya pun konon telah dilakukan. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sejauh mana keseriusan pemerintah untuk mendorong terlaksananya sistem pendidikan inklusi bagi kelompok difabel. Beberapa kasus muncul misalnya minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental. Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel. Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program pendidikan inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan – tahapan pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan secara langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusi adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa. Hambatan dalam pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia
  1. jumlah ABK di Indonesia masih sedikit yang terdaftar di sekolah.
    Menurut data UNESCO tahun 2009, ranking Indonesia dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus atau ABK terus mengalami kemerosotan. Pada 2007, ranking Indonesia berada di urutan ke-58 dari 130 negara, sedangkan pada 2008 turun ke ranking ke-63 dari 130 negara. Pada 2009, ranking Indonesia bahkan kian merosot hingga di peringkat ke-71 dari 129 negara. Semua hal di atas dikarenakan jumlah ABK di Indonesia masih sedikit yang terdaftar di sekolah.
  2. Kurikulum yang tersusun kaku dan kurang tanggap terhadap kebutuhan anak yang berbeda.
    banyak negara mendorong kebutuhan pendidikan dasar tanpa memerhatikan isu pendidikan anak berkebutuhan khusus. Namun, pendidikan inklusi tidak kemudian mensyaratkan kurikulum yang terpisah karena itu justru akan menciptakan segregasi.Kurikulum pendidikan inklusi harus masuk dalam kurikulum arus utama. Inisiatif para stakeholders, guru dan sekolah, serta masyarakat masih parsial terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusi, sehingga akses Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mengenyam pendidikan masih begitu sempit.
  3. kebijakan yang kurang mendukung
    kebijakan pemerintah tidak memisahkan komponen pendidikan khusus ini, harusnya tidak lagi dibedakan. Pendidikan inklusi sudah bukan lagi tambahan, tetapi masuk dalam pengaturan umum.
  4. kurangnya ketersediaan anggaran
    Minimnya anggaran yang disediakan pemerintah adalah sisi lain akibat tidak adanya dukungan kebijakan pemerintah.
  5. Dukungan Sumber Daya Manusia (SDM)
  6. Paradigma/ Pandangan Masyarakat Terhadap Pendidikan Inklusi Pendidikan inklusi memang tidak popular dalam masyarakat. Masyarakat hanya disibukan dengan urusan meningkatkan kualitas pendidikan secara horizontal maupun vertical. Sehingga anak bangsa yang memiliki kebutuhan yang terbatas ini sering termarginalkan (kaum yang tersisih). Pelayanan pendidikan ini memang memerlukan sarana dan prasarana yang cukup besar tapi bukan berarti harus ditinggalkan karena mereka mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Kita harus meninggalkan persepsi konvensional bahwa anak dengan berkebutuhan terbatas misalnya untuk anak tuna netra hanya dicetak menjadi Tukang Pijat.
Anonim. 2004. Deklarasi Bandung: Indonesia Menuju Pendidikan Inklusi, (Online), (http://www.idp-europe.org/indonesia/compendium/id/deklarasi_bandung.php, Diakses 20 Desember 2009).
Anonim. 2009. Pendidikan Inklusi Masih Banyak Kendala, (Online), (http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=499:pendidikan-inklusi-masih-banyak-kendala&catid=117:terkini&Itemid=136, diakses 20 Desember 2009).
Cakfu. 2008. Dilema Pendidikan Inklusi, (Online), (http://cakfu.info/?p=79, diakses 20 Desember 2009).
Edeswari. 2009. Pendidikan Inklusi, (Online), (http://elvinadeswari.wordpress.com/2009/02/20/pendidikan-inklusi/, diakses 20 Desember 2009).
Fahmi. 2008. Mewujudkan Pendidikan Inklusi di Aceh, (Online), (http://web.acehinstitute.org/OPINI/35.html?VivvoSessionId=e926f94b245a86a4da1, diakses 20 Desember 2009).
Latief. 2009. Soal Pendidikan Inklusi, ranking Indonesia Merosot Terus, (Online), (http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/11/30/17003448/soal.pendidikan.inklusi.ranking.indonesia.merosot.terus, diakses 20 Desember 2009).
____. 2009. Depdiknas belum punya Pedoman Pendidikan Inklusi, (Online), (http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/11/30/17460274/Depdiknas.Belum.Punya.Pedoman.Pendidikan.Inklusi, diakses 20 Desember 2009).
Setiawan, Andhi. 2009. Pendidikan Inklusi, (Online), (http://andhisetiawan.blogspot.com/2009/05/pendidikan-inklusi.html, diakses 20 Desember 2009).
Sukadari. 2009. Peran Pendidikan Inklusi Bagi Anak Berkelainan, (Online), (http://www.madina-sk.com/index.php?option=com_content&task=view&id=812&Itemid=10, diakses 20 Desember 2009).

Alat Identifikasi ABK dalam kelas Inklusi

1
Pada saat ini pemerintah memperhatikan kesamaan hak rakyat dalam bidang pendidikan, yaitu dengan cara mendirikan sekolah-sekolah inklusi di setiap kecamatan. sampai saat ini di surabaya pada jenjang SD hal ini sudah mendapat perhatian yang baik, namun pada jenjang SMP dan SMA masih ada upaya-upaya yang sedang diusahakan dinas pendidikan  kota surabaya.
 
untuk mengidentifikasi apakah di kelas anda ada siswa ABK? di bawah ini contoh mengidentifikasi siswa ABK dalam kelas.
 
 
ALAT IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
(AI ABK)
_____________________________________________________________________________
DINAS PENDIDIKAN PROPINSI BANTEN
PROYEK PENYELLENGGARAAN DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN LUAR BIASA
2002
 

ALAT IDENTIFIKASI ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS
(AI ABK)
Nama Sekolah : ……………………………………
Kelas : ……………………………………
Diisi Tanggal : ……………………………………
Nama Petugas/
Guru Kelas : ……………………………………
                                                                
                                                                                           Nama Siswa 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10| 11| 12| 13| 14| 15| 16| dst| Jumlah
No.
     Gejala yang diamati
1. Tunanetra (anak yang mengalami gangguan penglihatan)
a. Tidak mampu melihat,
b. Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter,
c. Kerusakan nyata pada kedua bola mata,
d. Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan,
e. Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya,
f. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering,
g. Peradangan hebat pada kedua bola mata,
h. Mata bergoyang terus.
Nilai standarnya adalah 6, artinya bila anak mengalami
minimal 6 gejala di atas, maka anak termasuk tunanetra.
 
2. Tunarungu (anak yang mengalami gangguan pendengaran)
a. Tidak mampu mendengar,
b. Terlambat perkembangan bahasa,
c. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
d. Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara,
e. Ucapan kata tidak jelas,
f. Kualitas suara aneh/monoton,
g. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar,
h. Banyak perhatian terhadap getaran,
i. Keluar nanah dari kedua telinga,
j. Terdapat kelainan organis telinga.
Nilai standarnya 7.
 
 3. Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan
a. Anggauta gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh,
b. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali),
c. Terdapat bagian anggauta gerak yang tidak lengkap/tidaksempurna/lebih kecil dari biasa,
d. Terdapat cacat pada alat gerak,
e. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam,
f. Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal,g. Hiperaktif/tidak dapat tenang.

Nilai standarnya 5.

4. Anak Berbakat/anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa
a. Membaca pada usia lebih muda,
b. Membaca lebih cepat dan lebih banyak,
c. Memiliki perbendaharaan kata yang luas,
d. Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat,w. Tidak cepat puas dengan prestasinya,
 e. Mempunayi minat yang luas, juga terhadap masalah orang dewasa,
f. Mempunyai inisiatif dan dapat berkeja sendiri,
g. Menunjukkan keaslian (orisinalitas) dalam ungkapan verbal,
h. Memberi jawaban-jawaban yang baik,
i. Dapat memberikan banyak gagasan,
j. Luwes dalam berpikir,
k. Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan,
l. Mempunyai pengamatan yang tajam,
m. Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu panjang, terutama terhadap tugas atau bidang yang diminati,
n. Berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri,
o. Senang mencoba hal-hal baru,
p. Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi,
q. Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan masalah,
r. Cepat menangkap hubungan sebabakibat,
s. Berperilaku terarah pada tujuan,
t. Mempunyai daya imajinasi yang kuat,
u. Mempunyai banyak kegemaran (hobi),
v. Mempunyai daya ingat yang kuat,
w. Tidak cepat puas dengan prestasinya,
x. Peka (sensitif) serta menggunakan firasat (intuisi),
y. Menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan.
 
Nilai standarnya 18.

5. Tunagrahita
a. Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar,
b. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia,
c. Perkembangan bicara/bahasa terlambat
d. Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong),
e. Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali),
f. Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler).

Nilai standarnya 4.
 
6. Anak lamban belajar

a. Rata-rata prestasi belajarnya kurang dari 6,
b. Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-teman seusianya,
c. Daya tangkap terhadap pelajaran lambat,
d. Pernah tidak naik kelas.
 
Nilai standarnya 3.
 
7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik:
• Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
a. Perkembangan kemampuan membaca terlambat,
b. Kemampuan memahami isi bacaan rendah,
c. Kalau membaca sering banyak kesalahan

Nilai standarnya 3.
• Anak yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia)
a. Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai,
b. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya,
c. Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,
d. Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang,
e. Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.

Nilai standarnya 4.

• Anak yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia)

a. Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =
b. Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan,
c. Sering salah membilang dengan urut,
d. Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya,
e. Sulit membedakan bangun-bangun geometri.

Nilai standarnya 4.

8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi
a. Sulit menangkap isi pembicaraan orang lain,
b. Tidak lancar dalam berbicaraa/mengemukakan ide,
c. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
d. Kalau berbicara sering gagap/gugup,
e. Suaranya parau/aneh,
f. Tidak fasih mengucapkan kata-kata tertentu/celat/cadel,
g. Organ bicaranya tidak normal/sumbing.

Nilai standarnya 5.

9. Tunalaras (anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku)
a. Bersikap membangkang,
b. Mudah terangsang emosinya,
c. Sering melakukan tindakan aggresif,
d. Sering bertindak melanggar norma social/norma susila/hukum.

Nilai standarnya 4.

Nilai Raport Semester Terakhir

a. Pendidikan Agama
b. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
c. Bahasa Indonesia
d. Matematika
e. Ilmu Pengetahuan Alam
f. Ilmu Pengetahuan Sosial
g. Kerajinan Tangan dan Kesenian
h. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
i. Muatan Lokal
 
HASIL PERTEMUAN KASUS (CASE CONFERENCE)
ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS
Nama Sekolah: …………………………………
Kelas : …………………………………
No. Nama Anak Uraian Kasus Saran Pemecahan
1.
2.
Siti Wulandari
Dst.
1. Disleksia                                                                           
1. Remedial membaca
2. Gangguan penglihatan
3. Sering tidak masuk sekolah

2. Periksa ke dokter/pindah tempat
duduk
3. Perlu perhatian orang tua
Keterangan: Dilaporkan tanggal:
1. Tanggal pertemuan: Guru Kelas
2. Tempat:
3. Peserta :
( ………………………)