Pendidikan Inklusi
Sekilas Tentang Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara
memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu
kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki
perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945
pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum
mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi
lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan
perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa.
Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa
untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.
Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel)
disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan
jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara
tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok
eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Tembok
eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses
saling mengenal antara anak – anak difabel dengan anak – anak
non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok
difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di
masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok
difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan
menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Munculnya Pendidikan Inklusi
Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam
menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan
inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya
sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person
with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007.
Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara
berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap
tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong
terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun
dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih
menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi
pendidikan, dalam hal ini para guru.
Selain itu pada tahun 2004 juga diadakan dua Kongres yang
menghasilkan kesepakatan di bawah ini.
- Kongres Internasional ke-8 tentang mengikutsertakan anak
penyandang kecacatan ke dalam masyarakat;
Menuju Kewarganegaraan yang
Penuh 15-17 Juni 2004 Stavanger
Oleh karena itu, kami, peserta Kongres Internasional tentang
Mengikutsertakan Anak dan Remaja Penyandang Kecacatan ke dalam Kehidupan
Masyarakat. Menghimbau bahwa negara-negara harus:
-
Deklarasi Bandung: Indonesia Menuju Pendidikan Inklusi
Bandung, 11 Agustus 2004
Bahwasanya keberadaan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus
lainnya di Indonesia untuk mendapatkan kesamaan hak dalam berbicara,
berpendapat, memperoleh pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan,
sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945; mendapatkan hak dan kewajiban
secara penuh sebagai warga negara, sebagaimana tertuang dalam
- Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia [1948],
- diperjelas oleh Konvensi Hak Anak [1989],
- Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua [1990],
- Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para
Penyandang Cacat [1993],
- Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO [1994],
- Undang-undang Penyandang Kecacatan [1997],
- Kerangka Aksi Dakar [2000],
- Undang-undang RI Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional [2003],
dan
Deklarasi Kongres Anak Internasional [2004].
Seluruh dokumen tersebut memberikan
jaminan sepenuhnya kepada anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus
lainnya dalam memperoleh pendidikan yang bermutu dan berpartisipasi
aktif dalam kehidupan masyarakat. Menyadari kondisi obyektif masyarakat
Indonesia yang beragam, maka kami sepakat Menuju Pendidikan Inklusif.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kami,
peserta Lokakarya Nasional tentang Pendidikan Inklusif
yang diselenggarakan di Bandung, Indonesia tanggal 8-14 Agustus 2004
menghimbau kepada pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait,
dunia usaha dan industri serta masyarakat untuk dapat:
- Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus
lainnya mendapatkan kesamaan akses dalam segala aspek kehidupan, baik
dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, kesejahteraan, keamanan,
maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi penerus yang handal.
- Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus
lainnya, sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan
yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan
tuntutan masyarakat, tanpa perlakuan deskriminatif yang merugikan
eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis,
sosiologis, hukum, politis maupun kultural.
- Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan inklusif
yang ditunjang kerja sama yang sinergis dan produktif di antara para
stakeholders, terutama pemerintah, institusi pendidikan, institusi
terkait, dunia usaha dan industri, orang tua serta masyarakat.
- Menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pemenuhan anak
berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya, sehingga memungkinkan
mereka dapat mengembangkan keunikan potensinya secara optimal.
- Menjamin kebebasan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus
lainnya untuk berinteraksi baik secara reaktif maupun proaktif dengan
siapapun, kapanpun dan di lingkungan manapun, dengan meminimalkan
hambatan.
- Mempromosikan dan mensosialisasikan layanan pendidikan inklusif
melalui media masa, forum ilmiah, pendidikan dan pelatihan, dan lainnnya
secara berkesinambungan.
- Menyusun Rencana Aksi [Action Plan] dan pendanaannya untuk pemenuhan
aksesibilitas fisik dan non-fisik, layanan pendidikan yang berkualitas,
kesehatan, rekreasi, kesejahteraan bagi semua anak berkelainan dan anak
berkebutuhan khusus lainnya.
Pernyataan ini dibuat dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab
untuk Menuju Pendidikan Inklusif di Indonesia.
Namun persoalan yang terjadi hari ini adalah masyarakat sudah melebel
seseorang atau anak dengan lebel cacat, yang seolah-olah tidak
bermanfaat sama sekali bagi nusa dan bangsa. Bagaimana orang lain
memperhatikan anak yang berkebutuhan khusus ini dengan baik, dan
mengoptimalkan kelebihan yang dimilikinya dengan menyediakan semua akses
yang dibutuhkannya. Banyak bukti bahwa kecacatan bukanlah sebuah
penghalang dalam menggapai cita-cita seperti Stephen Hopkins, seorang
ahli fisika ternama dari USA. Yang lebih fenomenal lagi adalah sosok
Helen Keller (1880-1968). Wanita luar biasa ini lulus cumlaude dari
Radcliffe College tahun 1904, padahal ia menjadi orang buta-tuli-bisu
pertama dengan kelulusan terbaik. Keller menjadi buta dan tuli di usia
19 bulan. Berkat bantuan keluarganya dan bimbingan Annie Sullivan yang
juga buta –namun setelah melewati serangkaian operasi akhirnya dapat
melihat secara terbatas– Keller berhasil menepis anggapan bahwa
keterbatasan fisik membuat tidak berdaya atau tidak bisa berprestasi.
Keller pernah berkata; ‘Character cannot be developed in ease and quite.
Only through experience of trial and suffering can the soul be
strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved’.
Keller mendapatkan berbagai penghargaan di tingkat nasional dan
internasional atas prestasi dan pengabdiannya.
Pengertian Pendidikan Inklusi
Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi, diantaranya
adalah pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha
mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan
yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam
pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender,
status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan
inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang
dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi
yang dimilikinya.Ada juga yang memakanai pendidikan inklusi sebagai
model Penyelenggaraan Program Pendidikan bagi anak berkelainan atau
cacat dimana penyelenggaraannya dipadukan bersama anak normal dan
tempatnya di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di
lembaga bersangkautan.
Dalam sebuah konferensi tingkat menteri pendidikan negara-negara
Afrika (MINEDAF VIII), mereka mendefinisikan pendidikan inklusi adalah
sebuah sistem pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus dapat belajar
di sekolah umum yang ada di lingkungan mereka dan sekolah tersebut
dilengkapi dengan layanan pendukung serta pendidikan yang disesuaikan
dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Salah satu pendapat yang paling
ekstrim di simpulkan oleh M.N.G Mani, Direktur International Human
Resource Development Center mangatakan bahwa pendidikan inklusi itu
merupakan sebuah ideologi dan bukan sebuah program.
Dalam sebuah concept papernya, Save the Children UK menyatakan bahwa
tujuan dari pendidikan inklusi itu adalah untuk untuk memastikan bahwa
semua anak memiliki akses terhadap pendidikan yang terjangkau, efektif,
relevan dan tepat dalam wilayah tempat tinggalnya. Pendidikan ini
berawal dari dalam rumah bersama keluarga dan diterapkan juga dalam
pendidikan formal, non formal serta semua jenis pendidikan yang berbasis
masyarakat. Itulah beberapa definisi dan tujuan dari pendidikan inklusi
yang merupakan hal yang baru bagi kita. Dari sini kita bisa melihat
bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara anak cacat (berkebutuhan
khusus) dengan anak normal lainnya. Setiap manusia memiliki kelebihan
dan kekurangan masing-masing.
Dari pengertian di atas dapat kita pahami bahwa pendidikan inklusi
merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem
pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi
setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang
ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan
dan lain-lain. Di Indonesia pendidikan inklusi ini masih tergolong baru
dan masih banyak juga masyarakat yang belum mengetahuinya.
Proses menuju pendidikan inklusi
Ada tiga tahap dalam masa transisi yang dialami dalam dunia
pendidikan menuju pendidikan yang inklusi. Pertama adalah segregasi,
dalam tahap segregasi ini sangat jelas terlihat tereklusinya sebuah
pendidikan, dimana kurikulum dan sistem pendidikan masih terpisah antara
sekolah regular dan sekolah luar biasa, belum adanya partisipasi dari
semua pihak. Dalam tahap ini anak yang berkebutuhan khusus masih sulit
untuk memperoleh pendidikan, karena terbatasnya akses untuk mereka,
sementara tanggung jawabnya masih pada penyelenggara penddidikan
masing-masing. Kedua adalah integrasi, dalam tahap ini kurikulum dan
sistem pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus masih merupakan bagian
dari sekolah regular, belum adanya partisipasi penuh dan guru biasa
belum terbiasa beradaptasi dengan anak yang berkebutuhan khusus. Dan
tanggungjawabnya masih tergantung pada relasi dan kepedulian
masing-masing guru.
Tahap yang ketiga adalah Inklusi, tahap inilah yang akan membawa
perubahan-perubahan dalam kesadaran dan sikap, keadaan, metodologi,
pengguanaan konsep-konsep terkait dan sebagainya. Dalam tahap ini
kurikulum sudah dirancang sesuai dengan kebutuhan anak dan system
pendidikannya ada di sekolah umum, dimana pelaksanaan pendidikan,
pengelolaan kelas dapat menjamin peningkatan pendidikan dan akses untuk
semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus. Dalam tahap ini juga
Sebagian besar anak berkebutuhan khusus dapat belajar di sekolah umum
dengan akses dan lingkungan yang kondusif. Guru dapat memperkaya wawasan
serta meningkatkan kreativitas dalam pengelolaan kelas. Siswa/siswi
lain menerima perbedaan yang ada dan memiliki kepekaan sosial yang
tinggi serta mampu menjalin persahabatan dengan anak berkebutuhan
khusus. Orang tua anak berkebutuhan khusus merasa yakin bahwa anaknya
akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Guru wali kelas, guru
bidang studi serta guru pembimbing khusus bertangung jawab penuh pada
kelangsungan proses belajar anak berkebutuhan khusus.
Payung Hukum pelaksanaan pendidikan inklusi
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta
meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka
upaya mewujutkan tujuan Nasional. Lebih dari 15 tahun, pemerintah
Indonesia telah menyadari kebutuhan untuk meningkatkan pendidikan yang
lebih baik bagi masyarakat Indonesia dan prakarsa Pendidikan Untuk Semua
(EFA) telah mulai mendapat perhatian. Meskipun demikian, pelaksanaan
sistem pendidikan tersebut masih tersendat. “Rencana Pendidikan
Nasional: Pendidikan Untuk Semua” 49.647 dari perkiraan satu juta lebih
anak dengan kebutuhan khusus dapat mengenyam pendidikan. Sekitar 67%
dari keseluruhan lembaga pendidikan tempat anak-anak ini belajar
merupakan lembaga non-pemerintah. Dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusi ini sudah ditopang oleh beberapa kebijakan diantaranya adalah:
Kebijakan international: Kebijakan internasional mengenai pendidikan
inklusi ini adalah 1) Deklarasi Internasional Tentang Hak-Hak Asasi
Manusia (Pasal 16) ayat 1 dan 2; 2) Konferensi Jomtien Tahun 1990
tentang pendidikan untuk semua dan penyediaan akses pendidikan dasar
bagi semua anak pada tahun 2000; 3) Konferensi Dunia Salamanca Tahun
1994 Tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus di mana menghasilkan
kerangka kerja mengenai penyediaan akses dan standardisasi kualitas
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus; 4) Konferensi Pendidikan Dunia
di Dakar, Senegal Tahun 2000.
Selanjutnya yang kedua adalah Kebijakan Nasional: Kebijakan nasional
mengenai penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah 1) Undang – Undang
Dasar 1945, Pembukaan UUD 1945 alenia ke-empat, Pasal 31; 2) Undang –
Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, pasal 4 ayat 1,
pasal 11 ayat 1 dan pasal 12 ayat 1b; 3) Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional, pasal 41; 4) Keputusan
Presiden No. 36/1990 tentang Pengesahan dari pengakuan akan hak-hak
anak; 5) Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0306/VI/1995
tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar; 6) Surat Edaran No.
380/G.06/MN/2003 dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional tanggal 20 Januari 2003
tentang Pendidikan Inklusi.
Tahapan-tahapan dalam pelaksanaan pendidikan inklusi
Tahapan – tahapan dalam pendidikan Inklusi antara lain; sosialisasi,
persiapan sumber daya (preparing resources), dan uji coba (try out)
metode pembelajaran. Sosialisasi pendidikan inklusi dimaksudkan untuk
memberikan gambaran secara umum tentang maksud dan tujuan pendidikan
inklusi kepada tenaga pengajar, siswa, dan orang tua. Fungsi sosialisasi
sangat penting untuk membangun pra kondisi lingkungan sekolah dan juga
kesiapan mental baik bagi siswa maupun para guru.Tahap selanjutnya
adalah mempersiapkan sumber daya yang menyangkut kesiapan peralatan
peraga untuk simulasi dan kesiapan ketrampilan tenaga pelaksana
pendidikan. Kelengkapan peraga untuk pendidikan inklusi memang lebih
kompleks dibanding dengan alat peraga ajar yang umum digunakan. Sehingga
dituntut kreatifitas dari guru untuk melakukan simulasi proses belajar
mengajar. Sementara persiapan tenaga pelaksana pendidikan adalah dengan
melakukan pelatihan (training) tentang beberapa metode pelaksanaan
pendidikan inklusi kepada para guru.
Jika kedua langkah tersebut
telah dilaksanakan maka langkah terakhir adalah melakukan uji coba
metode pendidikan inklusi pada sekolah yang ditunjuk. Uji coba
dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana tingkat efektifitas metode yang
digunakan sekaligus untuk melakukan evaluasi sehingga dapat dicari
solusi tepat untuk melakukan perbaikan jika ditemukan kekurangan. Ketika
ketiga langkah tersebut sudah terlaksana dengan baik, maka pendidikan
inklusi mulai dapat diaplikasikan pada sekolah yang ditunjuk sebagai
pilot project.
Pelaksanaan Pendidikan Inklusi
Dalam menangani anak berkelainan diperlukan keahlian tersendiri
karena tidak semua aktivitas di sekolah dapat diikuti oleh anak cacat,
missal anak cacat netra tak mampu mengikuti pelajaran menggambar atau
olah raga begitu pula anak tuna rungu sulit mengikuti pelajaran seni
suara dan cacat yang lain perlu penanganan khusus karena
keterbatasannya. Maka sangat diperlukan guru pembimbing khusus yang
mampu memehami sekaligus menangani keberadaan anak cacat termasuk di
dalamnya memahami karakter dari masing-masing jenis kecacatannya.
Di samping membutuhkan guru khusus, juga perlu membekali pengetahuan
tentang karakter anak cacat terhadap guru umum, siswa yang normal maupun
masyarakat sekitar dnegan harapan anak cacat tersbut dapat diperlalukan
secara wajar.
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi memang tidak sesederhana
menyelenggarakan sekolah umum. Kenyataan di lapangan memerlukan sarana
yang cukup, misalnya gedung sekolah dengan menyesuaikan kondisi anak.
Peralatan pendidikan yang memadai, contoh bagi tuna netra perlu alat
tulis Braille, tuna rungu perlu alat Bantu dengar, tuna daksa perlu
kursi roda dan masih banyak lagi fasilitas yang harus disediakan dengan
harapan anak cacat dapat berkembang kemampuannya secara optimal.
Mengingat mahalnya fasilitas yang harus disediakan maka sampai tahun
2005, di seluruh Indonesia baru ada 504 Sekolah Inklusi yang tersebar di
seluruh penjuru tanah air. Sebenarnya cukup banyak sekolah regular yang
mengajukan menjadi Sekolah Inklusi, yakni 1200 sekolah, sedang yang
dilaksanakan baru 504 sekolah dan yang lain perlu dipelajari kesiapan
karena konsekuensinya Pemerintah memebrikan subsidi Rp. 5 juta di setiap
sekolah dan fasilitas lain sebagai penunjang kegiatan bagi anak yang
cacat tersebut.
Keberadaan anak cacat (diffable) tak lepas dari peran serta tenaga
ahli. Apabila Pendidikan Inklusi benar-benar diselenggarakan secara
ideal setiap sekolah harus ada, sebab tanpa pengawasan dan penanganan
secara khusus dapat erakibat fatal. Suatu contoh : anak cerebral Palsy
(jenis tuna dasa) perlu dokter syaraf, orthopedic dan psikolog, sebab
anak seperti ini memerlukan ketenangan jiwa sehingga mampu menjaga
kondisi yang prima. Belum lagi cacat yang lain.
Konsekuensi dari penyelenggaraan program ini harus embutuhkan biaya
yang mahal, sehingga idealnya pemerintah mengambil peran agar
benar-benar pendidikan ini dapat terlaksana dengan baik. Untuk menopang
suksesnya penyelenggaraan Pendidikan Inklusi perlu kerjasama dengan
semua pihak mengingat kemampuan Pemerintah untuk membantu masih sangat
terbatas sementara anak cacat yang belum tertampung mengikuti pendidikan
formal semakin banyak sehingga dapat menjadikan kendala suksesnya Wajar
9 Tahun.
Keterpaduan kerjasama sangat mendesak sehingga pemerintah tak perlu
menunggu waktu lama dengan alasan dana pendidikan terbatas. Alokasi 20 %
masih sangat jauh dan sebagainya. Namun, memfungsikan beberapa unsur
terkait dapat mengalokasikan program ini. Apabila di sekolah-sekolah
umum kekurangan guru khusus dapat mengangkat lulusan SGPLB dan S1 PLB
atau mengoptimalkan guru-guru khusus di sekolah terpadu dengan system
guru kunjung.
Tentang masalah tenaga ahli dapat kerjasama dengan puskesmas atau
rumah sakit terdekat dengan cara menjalin kerjasama antara departemen
atau institusi dengan diperluas adanya SKB (Surat keputasan Bersama)
para pejabat pemerintah.
Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh
pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok
yang homogen. Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan
akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan siswa. Mereka juga
diharapkan dapat mencari anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan.
- Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Pengelompokan anak
berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya, sesuai dengan Program
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan Pembinaan
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen
Pendidikan Nasional Pendidikan adalah sebagai berikut :
1. Tuna Netra
2.
Tuna Rungu
3. Tuna Grahita: (a.l. Down Syndrome)
4. Tuna Grahita
Ringan (IQ = 50-70)
5. Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50)
6. Tuna
Grahita Berat (IQ < 25)
7. Tuna Daksa
8. Tuna Laras
(Dysruptive)
9. Tuna Wicara
10. Tuna Ganda
11. HIV AIDS
12.
Gifted : Potensi kecerdasan istimewa (IQ > 125 ) J. Talented :
Potensi bakat istimewa (Multiple Intelligences : Language, Logico
mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal,
Intrapersonal, Natural, Spiritual).
13. Kesulitan Belajar (a.l.
Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis,
Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/ Motorik)
14. Lambat
Belajar ( IQ = 70 –90 )
15. Autis
16. Korban Penyalahgunaan
Narkoba
17. Indigo
- Pendekatan secara kurikulum nasional dikaitkan dengan Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK)
Kurikulum pendidikan nasional yang
diterapkan saat ini ternyata sangat menyulitkan anak-anak yang
berkebutuhan khusus (ABK), seperti yang terjadi di sekolah-sekolah
inklusi. Kebutuhan sekolah inklusi ini bukan kurikulum yang berfokus
bagaimana mengarahkan siswa agar sesuai harapan standar kurikulum yang
berangkat dari sekedar bagaimana mengatasi keterbatasan siswa, tetapi
berangkat dari penghargaan, optimisme dan potensi positif anak yang
berkebutuhan khusus.
Tetapi kenyataan yang ada sekarang, kurikulum
pendidikan nasional masih kaku, arogan dan tidak mau mengalah. Bahkan
terhadap siswa yang termasuk ABK, dimana siswanyalah yang harus mengalah
dan menyesuaikan diri, bukan kurikulum yang menyesuaikan diri dengan
potensi siswa. Kondisi tersebut sangat menyulitkan anak-anak
berkebutuhan khusus yang berada dalam kelas inklusi.
Selain kurikulum
yang menjadi hambatan bagi pengembangan sekolah inklusi adalah, banyak
guru yang masih belum memahami program inklusi. Kalaupun ada yang paham,
keterampilan untuk menjalankan sekolah inklusi, itupun masih jauh dari
harapan. Bahkan ketersediaan guru pendamping khusus juga belum
mencukupi. Salah satu program, mendesak yang harus dikuasai guru dalam
program sekolah inklusi tersebut adalah menambah pengetahuan dan
ketrampilan deteksi dini gangguan dan potensi pada anak. Pendidikan
inklusi berarti juga harus melibatkan orang tua secara bermakna dalam
proses perencanaan, karena keberhasilan pendidikan inklusi tersebut
sangat bergantung pada partisipasi aktif orang tua bagi pendidikan
anaknya.
- Model Kelas Inklusi
Direktorat PLB (2007: 7) menjelaskan tentang
penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan
berbagai model sebagai berikut:
1. Kelas reguler (inklusi penuh)
Anak
berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas
reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
2. Kelas reguler
dengan cluster
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler dalam kelompok khusus.
3. Kelas reguler dengan pull
out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas
reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke
ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4. Kelas
reguler dengan cluster dan pull out
Anak berkelainan belajar bersama
anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam
waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk
belajar dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas khusus dengan
berbagai pengintegrasian
Anak berkelainan belajar di dalam kelas
khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat
belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
6. Kelas khusus
penuh
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah
reguler.
Pentingnya Pendidikan Inklusi
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara
memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu
kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki
perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945
pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum
mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi
lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan
perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa.
Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa
untuk dapat belajar menghormati realitas kehidupan dalam masyarakat.
Pendidikan inklusi adalah hak asasi manusia, di samping merupakan
pendidikan yang baik dan dapat menumbuhkan rasa sosial. Itulah ungkapan
yang dipakai untuk menggambarkan pentingnya pendidikan inklusi. Ada
beberapa argumen di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi merupakan
hak asasi manusia: (1) semua anak memiliki hak untuk belajar bersama;
(2) anak-anak seharusnya tidak dihargai dan didiskriminasikan dengan
cara dikeluarkan atau disisihkan hanya karena kesulitan belajar dan
ketidakmampuan mereka; (3) orang dewasa yang cacat, yang menggambarkan
diri mereka sendiri sebagai pengawas sekolah khusus, menghendaki akhir
dari segregrasi (pemisahan sosial) yang terjadi selama ini; (4) tidak
ada alasan yang sah untuk memisahkan anak dari pendidikan mereka,
anak-anak milik bersama dengan kelebihan dan kemanfaat untuk setiap
orang, dan mereka tidak butuh dilindungi satu sama lain (CSIE, 2005).
Adapun alasan-alasan di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi
adalah pendidikan yang baik: (1) penelitian menunjukkan bahwa anak-anak
akan bekerja lebih baik, baik secara akademik maupun sosial, dalam
setting yang inklusif; (2) tidak ada pengajaran atau pengasuhan dalam
sekolah yang terpisah/khusus yang tidak dapat terjadi dalam sekolah
biasa; (3) dengan diberi komitmen dan dukungan, pendidikan inklusif
merupakan suatu penggunaan sumber-sumber pendidikan yang lebih efektif.
Dan argumen-argumen dibalik pernyataan bahwa pendidikan inklusi dapat
membangun rasa sosial: (1) segregasi (pemisahan sosial) mendidik anak
menjadi takut, bodoh, dan menumbuhkan prasangka; (2) semua anak
membutuhkan suatu pendidikan yang akan membantu mereka mengembangkan
relasi-relasi dan menyiapkan mereka untuk hidup dalam arus utama; dan
(3) hanya inklusi yang berpotensi untuk mengurangi ketakutan dan
membangun persahabatan, penghargaan dan pengertian (CSIE, 2005).
Pertimbangan filosofis yang menjadi basis pendidikan inklusi paling
tidak ada tiga. Pertama, cara memandang hambatan tidak lagi dari
perspektif peserta didik, namun dari perspektif lingkungan sekolah.
Lingkungan sekolah harus memainkan peran sentral dalam transformasi
hambatan-hambatan peserta didik. Kedua, perspektif holistik dalam
memandang peserta didik. Dengan perspektif tersebut, peserta didik
dipandang mampu dan kreatif secara potensial. Sekolah bertanggung jawab
untuk menciptakan lingkungan di mana potensi-potensi tersebut
berkembang. Ketiga, prinsip non-segregasi. Dengan prinsip ini, sekolah
memberikan pemenuhan kebutuhan kepada semua peserta didik. Organisasi
dan alokasi sumber harus cukup fleksibel dalam memberikan dukungan yang
dibutuhkan kelas. Masalah yang dihadapi peserta didik harus didiskusikan
terus menerus di antara staf sekolah, agar dipecahkan sedini mungkin
untuk mencegah munculnya masalah-masalah lain (UNESCO, 2003).
Ada tiga langkah penting menuju inklusi yang nyata: komunitas,
persamaan dan partisipasi. Semua staf yang terlibat dalam pendidikan
merupakan suatu komunitas yang memiliki visi dan pemahaman yang sama
tentang pendidikan inklusi, baik konsep dan pentingnya maupun
dasar-dasar filosofis. Setiap anggota komunitas memiliki persamaan (hak
yang sama), dan—karena itu—sama-sama berpartisipasi dalam mengembangkan
pendidikan inklusi, sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai
evaluasinya. Dalam pendidikan inklusi, sistem sekolah tidak berhak
menentukan tipe peserta didik, namun sebaliknya sistem sekolah yang
harus menyesuaikan untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik. Terkait
dengan ini, ada ungkapan bahwa komunitas (semua staf yang terlibat
dalam pendidikan inklusi) ‘melampaui dan di atas’ (over and above)
kurikulum (UNESCO, 2003).
Kelebihan pelaksanaan pendidikan inklusi
Pendidikan Inklusi dalam penyelenggaraannya memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan dengan pendidikan terpadu atau pendidikan khusus
(segregasi) sehingga sangat tepat apabila pemerintah menyelenggarakan
dan mengembangkan program ini.
Dengan diselenggarakannya pendidikan Inklusi bukan berarti SLB
(Sekolah Luar Biasa), sekolah terpadu dan SDLB (Sekolah Dasar Luar
Biasa) ditutup, akan tetapi dijadikan mitra kerja yang baik dengan
penyelenggaraan Sekolah Inklusi , bahkan kalau perlu dijadikan
laboratorium sekolah dan nara sumber bagi guru0guru khusus yang mengajar
di sekolah inklusi.
Munculnya sekolah inklusi karena memiliki beberapa keistimewaan
antara lain : 1) keberadaan anak cacat diakui sejajar dengan anak
normal; 2) lingkungan mengajarkan kebersamaan dan menghilangkan
diskriminasi; 3) memberi kesan pada orang tua dan masyarakat bahwa anak
cacat pun mampu seperti anak pada umumnya; 4) anak yang berkelainan akan
belajar meerima dirinya sebagaimana adanya dan juga tidak menkadi asing
lagi di lingkungannya; 5) aktivitas yang mungkin dapat diikuti anak
cacat ada kesempatan untk berpartisipasi sehingga dapat menunjukkan
kemampuannya di lingkungan anak normal; dan 6) membutuhkan pegangan diri
yaitu dnegan belajar secara kompetitif, eksistensi anak caat akan
teruji dalam persaingan secara sehat dengan anak pada umumnya.
Penyelenggaraan tersebut pada hakekatnya memebrikan kesempatan yang
sama setiap peserta didik dalam mengikuti pendidikan denganSistem
Persekolahan Reguler sesuai dengankebutuhan individunya tanpa
membedakanlatar belakang agama, budaya, social, sekonomi maupun suku.
Namun menngharap anak manusia yang berkualitas sekalipun cacat.
Sungguh merupakan harapan kita semua Program Penyelenggaraan Sekolah
Inklusi ini dapat terlaksana dengan baik atas dasar kepedulian
Pemerintah dan kepedulian kita bersama.
Dilema pendidikan inklusi
Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat
yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusif
(inclusive society). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati
dan menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari
realitas kehidupan. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya
sistem pendidikan inklusi dengan menyatakan bahwa setiap satuan
pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga
kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran
bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Undang – undang tentang
pendidikan inklusi dan bahkan uji coba pelaksanaan pendidikan inklusinya
pun konon telah dilakukan. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang
adalah sejauh mana keseriusan pemerintah untuk mendorong terlaksananya
sistem pendidikan inklusi bagi kelompok difabel.
Beberapa kasus muncul misalnya minimnya sarana penunjang sistem
pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang
dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem
pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi
sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum
mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan
(difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan
program eksperimental.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru
yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu
sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya
untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru
tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi
pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang
seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justeru
menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan
kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang
di dalam kelasnya ada siswa difabel.
Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program pendidikan
inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan –
tahapan pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari
sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan
secara langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan
pendidikan inklusi adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling
mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan
mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual
understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli (care)
terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka
sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive
learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam
waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif
bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan
inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan
hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga
mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa.
Hambatan dalam pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia
-
jumlah ABK di Indonesia masih sedikit yang terdaftar di sekolah.
Menurut data UNESCO tahun 2009, ranking Indonesia dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus atau
ABK terus mengalami kemerosotan.
Pada 2007, ranking Indonesia berada
di urutan ke-58 dari 130 negara, sedangkan pada 2008 turun ke ranking
ke-63 dari 130 negara. Pada 2009, ranking Indonesia bahkan kian merosot
hingga di peringkat ke-71 dari 129 negara.
Semua hal di atas dikarenakan jumlah ABK di Indonesia masih sedikit
yang terdaftar di sekolah.
-
Kurikulum yang tersusun kaku dan kurang tanggap terhadap kebutuhan
anak yang berbeda.
banyak negara mendorong kebutuhan pendidikan dasar tanpa memerhatikan
isu pendidikan anak berkebutuhan khusus. Namun, pendidikan inklusi
tidak kemudian mensyaratkan kurikulum yang terpisah karena itu justru
akan menciptakan segregasi.Kurikulum pendidikan inklusi harus masuk
dalam kurikulum arus utama. Inisiatif para stakeholders, guru
dan sekolah, serta masyarakat masih parsial terhadap penyelenggaraan
pendidikan inklusi, sehingga akses Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
mengenyam pendidikan masih begitu sempit.
-
kebijakan yang kurang mendukung
kebijakan pemerintah tidak memisahkan komponen pendidikan khusus ini,
harusnya tidak lagi dibedakan. Pendidikan inklusi sudah bukan lagi
tambahan, tetapi masuk dalam pengaturan umum.
-
kurangnya ketersediaan anggaran
Minimnya anggaran yang disediakan pemerintah adalah sisi lain akibat
tidak adanya dukungan kebijakan pemerintah.
- Dukungan Sumber Daya Manusia (SDM)
- Paradigma/ Pandangan Masyarakat Terhadap Pendidikan Inklusi
Pendidikan
inklusi memang tidak popular dalam masyarakat. Masyarakat hanya
disibukan dengan urusan meningkatkan kualitas pendidikan secara
horizontal maupun vertical. Sehingga anak bangsa yang memiliki kebutuhan
yang terbatas ini sering termarginalkan (kaum yang tersisih). Pelayanan
pendidikan ini memang memerlukan sarana dan prasarana yang cukup besar
tapi bukan berarti harus ditinggalkan karena mereka mempunyai hak yang
sama untuk mendapatkan pendidikan. Kita harus meninggalkan persepsi
konvensional bahwa anak dengan berkebutuhan terbatas misalnya untuk anak
tuna netra hanya dicetak menjadi Tukang Pijat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar